Pembahasan
Analisis Standar Pembiayaan
A.
Landasan Hukum Standar Pembiayaan
Pendidikan
Permen No. 69 tahun 2009 tentang Standar Pembiayaan
pendidikan telah diatur dalam UUD Negara Republik Indonesia 1945 (Amandemen IV)
yang menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan; setiap
warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib
membiayainya; pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem
pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak
mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan
undang-undang; negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya
dua puluh persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk memenuhi kebutuhan
penyelenggaraan pendidikan nasional; pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan
teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk
kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia
UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
lebih lanjut telah mengatur beberapa pasal yang menjelaskan pendanaan
pendidikan yaitu pada Pasal 11 Ayat 2 Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib
menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga
negara yang berusia tujuh sampai lima belas tahun. Lebih lanjut pada Pasal 12,
Ayat (1) disebutkan bahwa setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan
berhak mendapatkan beasiswa bagi yang berprestasi yang orangtuanya tidak mampu
membiayai pendidikannya dan mendapatkan biaya pendidikan bagi mereka yang
orangtuanya tidak mampu membiayai pendidikannya. Di samping itu disebutkan pula
bahwa setiap peserta didik berkewajiban ikut menanggung biaya penyelenggaraan
pendidikan, kecuali bagi peserta didik yang dibebaskan dari kewajiban tersebut
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pada Bab VIII Wajib Belajar Pasal 34 menyatakan bahwa setiap
warga negara yang berusia 6 (enam) tahun dapat mengikuti program wajib belajar;
Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal
pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya, wajib belajar merupakan
tanggung jawab negara yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan Pemerintah,
Pemerintah Daerah dan masyarakat. Ketentuan mengenai wajib belajar sebagaimana
dimaksud dalam Ayat (1), Ayat (2) dan Ayat (3) diatur lebih lanjut dengan PP.
Pendanaan Pendidikan menjadi tanggungjawab bersama antara Pemerintah,
Pemerintah Daerah, dan masyarakat. Sumber pendanaan pendidikan ditentukan
berdasarkan prinsip keadilan, kecukupan, dan keberlanjutan. Pengelolaan dana
pendidikan dilakukan berdasarkan pada prinsip keadilan, efisiensi,
transparansi, dan akuntabilitas publik.
Secara khusus disebutkan bahwa dana pendidikan selain gaji
pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari APBN pada
sektor pendidikan dan minimal 20% dari APBD. Gaji guru dan dosen yang diangkat
oleh Pemerintah dialokasikan dalam APBN dan APBD.
Partisipasi masyarakat dalam pendidikan berbasis masyarakat
adalah dengan berperan serta dalam pengembangan, pelaksanaan kurikulum, dan
evaluasi pendidikan, serta manajemen dan pendanaannya sesuai dengan standar
nasional pendidikan. Dana penyelenggaraan pendidikan berbasis masyarakat dapat
bersumber dari penyelenggara, masyarakat, Pemerintah, Pemerintah Daerah dan/atau
sumber lain yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Lembaga pendidikan berbasis masyarakat dapat memperoleh bantuan
teknis, subsidi dana, dan sumber daya lain secara adil dan merata dari
Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah.
UU No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen Pasal 13 menyatakan
bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menyediakan anggaran untuk
peningkatan kualifikasi akademik dan sertifikasi pendidik bagi guru dalam
jabatan yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh
pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat. Ketentuan lebih lanjut mengenai
anggaran untuk peningkatan kualifikasi akademik dan sertifikasi pendidik diatur
dengan PP.
Pada Peraturan Pemerintah No.19/2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan terdapat kerancuan antara Bab I Pasal 1 Ayat (10) dan Bab IX Pasal
62 Ayat (1) s/d (5) tentang ruang lingkup standar pembiayaan. Ketentuan Umum
tentang Standar Pembiayaan pada Pasal 1 tampak lebih sempit dari Pasal 62 yaitu
standar pembiayaan pada Pasal 1 adalah mencakup standar yang mengatur komponen
dan besarnya “biaya operasi” satuan pendidikan yang berlaku selama satu tahun.
Pada Pasal 62 mencakup “biaya investasi, biaya operasi dan biaya personal”.
Pada Bab IX: Standar Pembiayaan, Pasal 62 disebutkan bahwa:
1. Pembiayaan pendidikan terdiri atas
biaya investasi, biaya operasi, dan biaya personal.
2. Biaya investasi satuan pendidikan
sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) meliputi biaya penyediaan sarana dan
prasarana, pengembangan sumberdaya manusia, dan modal kerja tetap.
3. Biaya personal sebagaimana dimaksud
pada Ayat (1) meliputi biaya pendidikan yang harus dikeluarkan oleh peserta
didik untuk bisa mengikuti proses pembelajaran secara teratur dan
berkelanjutan.
4. Biaya operasi satuan pendidikan sebagaimana
dimaksud pada Ayat (1) meliputi:
a. Gaji pendidik dan tenaga
kependidikan serta segala tunjangan yang melekat pada gaji.
b. Bahan atau peralatan pendidikan
habis pakai, dan
c. Biaya operasi pendidikan tak
langsung berupa daya, air, jasa telekomunikasi, pemeliharaan sarana dan
prasarana, uang lembur, transportasi, konsumsi, pajak, asuransi, dan lain
sebagainya.
5. Standar biaya operasi satuan
pendidikan ditetapkan dengan Peraturan Menteri berdasarkan usulan BSNP
Sebelum
PP tentang standar pembiayaan pendidikan ini dikeluarkan, telah ada SK
Mendiknas tentang Standar Pelayanan Minimal Pendidikan (SPM) yaitu Kepmendiknas
No.053/U/2001 yang menyatakan bahwa SPM bidang pendidikan adalah tolok ukur
kinerja pelayanan pendidikan atau acuan bagi penyelenggaraan pendidikan di
provinsi dan kabupaten/kota sebagai daerah otonom. Penyusunan SPM bidang
Pendidikan Dasar dan Menengah mengacu kepada PP No. 25 Tahun 2000 tentang
Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom
mengisyaratkan adanya hak dan kewenangan Pemerintah Pusat untuk membuat
kebijakan tentang perencanaan nasional dan standarisasi nasional.
Dalam
rangka penyusunan standarisasi nasional itulah, Mendiknas telah menerbitkan
Keputusan No.053/U/2001 tanggal 19 April 2001 tentang SPM yang diharapkan dapat
digunakan sebagai pedoman dan sekaligus ukuran keberhasilan dalam
penyelenggaraan pendidikan di daerah provinsi, kabupaten/kota bahkan sampai di
tingkat sekolah.
Kepmendiknas
No. 129/U/2004 merupakan hasil revisi dari kepmen sebelumnya sesuai dengan
perubahan yang terjadi dalam sistem dan manajemen pendidikan nasional. Pada
kepmen ini pendidikan nonformal, kepemudaan, olahraga, dan Pendidikan Usia Dini
lebih ditonjolkan. Pendidikan nonformal seperti pendidikan keaksaraan,
pendidikan kesetaraan SD, SMP, SMA, pendidikan ketrampilan dan bermata
pencaharian, kelompok bermain, pendidikan kepemudaan dan olahraga secara
ekplisit telah ditentukan standar pelayanan untuk masing-masing SPM.
Karena
standar pembiayaan juga mencakup kebutuhan atas buku teks pelajaran, maka perlu
diperhatikan Peraturan Mendiknas No. 11 Tahun 2005 tentang Buku Teks Pelajaran
yaitu Pasal 7: satuan pendidikan menetapkan masa pakai buku teks pelajaran
paling sedikit 5 tahun dan buku teks pelajaran tidak dipakai lagi oleh satuan
pendidikan apabila ada perubahan standar nasional pendidikan dan buku teks
pelajaran dinyatakan tidak layak lagi oleh Menteri. Pada Pasal 8 ditegaskan
bahwa: guru dapat menganjurkan kepada peserta didik yang mampu untuk memiliki
buku teks pelajaran; anjuran sebagaimana dimaksud bersifat tidak memaksa atau
tidak mewajibkan; untuk memiliki buku teks pelajaran, peserta didik atau
orangtua/walinya membelinya di pasar; untuk membantu peserta didik yang tidak
mampu memiliki akses ke buku teks pelajaran, satuan pendidikan wajib
menyediakan paling sedikit 10 (sepuluh) eksemplar buku teks pelajaran untuk
setiap mata pelajaran pada setiap kelas, untuk dijadikan koleksi
perpustakaannya.
B. Konsep Pembiayaan Pendidikan
Sistem
Pembiayaan Pendidikan
Sistem
pembiayaan pendidikan merupakan proses dimana pendapatan dan sumber daya
tersedia digunakan untuk memformulasikan dan mengoperasionalkan sekolah. Sistem
pembiayaan pendidikan sangat bervariasi tergantung dari kondisi masing-masing
negara seperti kondisi geografis, tingkat pendidikan, kondisi politik
pendidikan, hukum pendidikan, ekonomi pendidikan, program pembiayaan pemerintah
dan administrasi sekolah. Sementara itu terdapat beberapa faktor yang perlu
diperhatikan untuk mengetahui sesuai tidaknya sistem dengan kondisi negara.
Untuk mengetahui apakah sistem tersebut telah sesuai dengan apa yang menjadi
harapan suatu negara, dapat dilakukan dengan cara: i) menghitung berbagai proporsi dari kelompok usia, jenis kelamin,
tingkat buta huruf; ii) distribusi
alokasi sumber daya pendidikan secara efisien dan adil sebagai kewajiban
pemerintah pusat mensubsidi sektor pendidikan dibandingkan dengan sektor
lainnya.
Setiap
keputusan dalam masalah pembiayaan sekolah akan mempengaruhi bagaimana sumber
daya diperoleh dan dialokasikan. Oleh karena itu perlu dilihat siapa yang akan
dididik dan seberapa banyak jasa pendidikan dapat disediakan, bagaimana mereka
akan dididik, siapa yang akan membayar biaya pendidikan. Demikian pula sistem
pemerintahan seperti apa yang paling sesuai untuk mendukung sistem pembiayaan
pendidikan. Tanggungjawab pemerintah dalam pembiayaan pendidikan termasuk untuk
pendidikan kejuruan dan bantuan terhadap murid. Hal itu perlu dilihat dari
faktor kebutuhan dan ketersediaan pendidikan, tanggungjawab orang tua dalam
menyekolahkan vs social benefit secara luas, pengaruh faktor politik dan
ekonomi terhadap sektor pendidikan.
Menurut
Levin (1987) pembiayaan sekolah
adalah proses dimana pendapatan dan sumber daya tersedia digunakan untuk
memformulasikan dan mengoperasionalkan sekolah di berbagai wilayah geografis
dan tingkat pendidikan yang berbeda-beda. Pembiayaan sekolah ini berkaitan
dengan bidang politik pendidikan dan program pembiayaan pemerintah serta
administrasi sekolah. Dalam pembiayaan sekolah tidak ada pendekatan tunggal dan
yang paling baik untuk pembiayaan semua sekolah karena kondisi tiap sekolah
berbeda.
Setiap
kebijakan dalam pembiayaan sekolah akan mempengaruhi bagaimana sumber daya
diperoleh dan dialokasikan. Dengan mengkaji berbagai peraturan dan kebijakan
yang berbeda-beda di sektor pendidikan, kita bisa melihat konsekuensinya
terhadap pembiayaan pendidikan, yakni:
1. Keputusan tentang siapa yang akan
dididik dan seberapa banyak jasa pendidikan dapat disediakan
2. Keputusan tentang bagaimana mereka
akan dididik
3. Keputusan tentang siapa yang akan
membayar biaya pendidikan
4.
Keputusan
tentang sistem pemerintahan seperti apa yang paling sesuai untuk mendukung
pembiayaan sekolah
Untuk
menjawab pertanyaan tersebut di atas, ada dua hal pokok yang harus dapat
dijawab, yakni: i) bagaimana sumber daya akan diperoleh, ii) bagaimana sumber
daya akan dialokasikan pada berbagai jenis dan jenjang pendidikan/tipe
sekolah/kondisi daerah yang berbeda. Terdapat dua kriteria untuk menganalisis
setiap hal tersebut, yakni, i) efisiensi yang terkait dengan keberadaan sumber
daya yang dapat memaksimalkan kesejahteraan masyarakat dan ii) keadilan yang
terkait dengan benefits dan costs yang seimbang.
Menurut
J. Wiseman (1987) terdapat tiga aspek yang perlu dikaji dalam melihat apakah
pemerintahan perlu terlibat dalam masalah pembiayaan pendidikan:
a. Kebutuhan dan ketersediaan
pendidikan terkait dengan sektor pendidikan dapat dianggap sebagai salah satu
alat perdagangan dan kebutuhan akan investasi dalam sumberdaya manusia/human
capital
b. Pembiayaan pendidikan terkait dengan
hak orang tua dan murid untuk memilih menyekolahkan anaknya ke pendidikan yang
akan berdampak pada social benefit secara keseluruhan
c.
Pengaruh
faktor politik dan ekonomi terhadap sektor pendidikan
Dalam
hal pendidikan kejuruan dan industri, M. Woodhall (1987) menjelaskan bahwa di
masa lalu pembiayaan pendidikan jenis ini ditanggung oleh perusahaan.
Perusahaan memberi subsidi kepada para pekerjanya sendiri. Sekarang peran
pemerintah semakin besar dalam pembiayaan ini. Hal itu disebabkan adanya
kepentingan ekonomi. Artinya kebijakan ketenagakerjaan, diharapkan dapat
meningkatkan kepentingan untuk membagi biaya dan manfaat dari pendidikan ini
dengan adil.
Beberapa
hal yang perlu diperhatikan dalam pendidikan kejuruan ini adalah:
1. Peran pemerintah dalam membiayai
jenis pendidikan ini
2. Perbedaan antara jenis training yang
umum dan spesifik
3. Pilihan antara training yang on dan
off the job
4. Keseimbangan antara pembiayaan dari
pemerintah dan sektor swasta di pendidikan ini
5. Pentingnya praktek kerja sebagai
kelanjutan dari jenis pendidikan ini
6. Pembayaran kompensasi selama
mengikuti pendidikan ini
7.
Sumber daya yang dialokasikan untuk
jenis pendidikan ini
Pendekatan Kecukupan
Pengukuran
biaya pendidikan seringkali menitikberatkan kepada ketersediaan dana yang ada
namun secara bersamaan seringkali mengabaikan adanya standar minimal untuk
melakukan pelayanan pendidikan. Konsep pendekatan kecukupan menjadi penting
karena memasukkan berbagai standar kualitas dalam perhitungan pembiayaan
pendidikan. Sehingga berdasarkan berbagai tingkat kualitas pelayanan pendidikan
tersebut dapat ditunjukkan adanya variasi biaya pendidikan yang cukup ideal
untuk mencapai standar kualitas tersebut. Analisis kecukupan biaya pendidikan
ini telah digunakan di beberapa negara bagian Amerika Serikat untuk
mengalokasikan dana pendidikan. Berbagai studi di Indonesia telah pula mencoba
memperhitungkan biaya pendidikan berdasarkan standar kecukupan.
Perhitungan
biaya pendidikan berdasarkan pendekatan kecukupan ditentukan oleh beberapa
faktor, diantaranya:
1. Besar kecilnya sebuah institusi
pendidikan
2. Jumlah siswa
3. Tingkat gaji guru (karena bidang
pendidikan dianggap sebagai highly labour intensive)
4. Rasio siswa dibandingkan jumlah guru
5. Kualifikasi guru
6. Tingkat pertumbuhan populasi
penduduk (khususnya di negara berkembang)
7.
Perubahan
dari pendapatan (revenue theory of cost)
Penutup
A.
Simpulan
1. bahwa dana pendidikan selain gaji
pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari APBN pada
sektor pendidikan dan minimal 20% dari APBD. Gaji guru dan dosen yang diangkat
oleh Pemerintah dialokasikan dalam APBN dan APBD.
2. Dana penyelenggaraan pendidikan
berbasis masyarakat dapat bersumber dari penyelenggara, masyarakat, Pemerintah,
Pemerintah Daerah dan/atau sumber lain yang tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Lembaga pendidikan berbasis masyarakat dapat
memperoleh bantuan teknis, subsidi dana, dan sumber daya lain secara adil dan
merata dari Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah.
3. Sistem pembiayaan pendidikan
merupakan proses dimana pendapatan dan sumber daya tersedia digunakan untuk
memformulasikan dan mengoperasionalkan sekolah.
4. Pengukuran biaya pendidikan
seringkali menitikberatkan kepada ketersediaan dana yang ada namun secara
bersamaan seringkali mengabaikan adanya standar minimal untuk melakukan
pelayanan pendidikan.
B.
Saran
1.
Dalam
mengalokasikan pembiayaan pendidikan harus merata di setiap daerah, agar
kualitas dan kuantitas pendidikan yang ada menjadi lebih baik dan maju.
2.
Lebih
ditegaskannya hukum dalam penyaluran
pembiayaan pendidikan pada pihak – pihak terkait.
DAFTAR PUSTAKA